Catatan Perjalanan :
Keliling
Setengah Amerika
10.
Menikmati Ikan Bakar, Lalapan Dan Sayur Asam
Matahari
sudah lengser ke barat, dan sekitar jam 4 sore kami segera
bergegas meninggalkan kompleks Musium Smithsonian dengan tujuan
untuk kembali menuju kota Wheaton. Kembali kami menyusuri pinggir
utara lapangan rumput yang lumayan tidak terlalu panas dengan
banyaknya ditumbuhi pepohonan. Dari kejauhan terdengar bunyi
musik dari berbagai konser musik yang sedang digelar di beberapa
panggung yang ada di lapangan.
Pertunjukan
musik sepanjang hari itu memang bagian dari perayaan Ulang Tahun
Kemerdekaan Amerika. Maka tidak heran kalau arena di sekitar
lapangan hijau itu banyak dipadati pengunjung. Tidak ketinggalan
pedagang kaki lima (tapi pakai mobil) yang turut meramaikan
suasana di sepanjang pinggiran jalan.
Siang
hari tadi sebenarnya juga ada berbagai atraksi lain, diantaranya
karnaval atau parade hari kemerdekaan, parade militer, pembacaan
naskah Declaration of Independence, dsb. Sore dan
malam harinya juga akan digelar berbagai atraksi antara lain
konser musik oleh National Symphony Orchestra dan pesta kembang
api di Monumen Washington yang baru direnovasi.
Hanya
yang agak mengherankan saya, dari daftar agenda acara dalam
rangka perayaan kemerdekaan Amerika ini saya tidak menemukan ada
upacara pengibaran bendera secara nasional yang kalau di
Indonesia justru menjadi acara inti. Di Amerika, acara semacam
upacara bendera ini biasanya hanya dilakukan di lingkungan
tertentu dan terbatas, karena itu tidak pernah dijumpai
arak-arakan anak sekolah, pramuka, hansip, pegawai negeri,
tentara, kelompok pemuda ini-itu, pam swakarsa, dsb. yang
memenuhi jalanan umum menuju lapangan upacara. Memang, lain
ladang lain belalang. Beda negara tentu beda sejarah
perjuangannya, karena itu juga beda tradisi dan tata caranya.
***
Cuaca
siang itu cukup panas, maka kamipun cepat-cepat saja berjalan
menuju ke lokasi parkir kendaraan yang jaraknya agak jauh dari
lokasi musium yang baru kami kunjungi. Lama-lama terasa capek
juga, apalagi anak-anak. Baru ingat kalau kami belum makan siang.
Sesuai rencana, kami akan makan siang di Wheaton. Kata Mas
Supeno, di sana ada restoran Indonesia.
Wah,
memang ini yang dicari-cari. Serasa tidak sabar segera ingin
mencapainya. Sebenarnya rencana semula begitu tiba di Wheaton
tadi malam akan langsung makan di restoran Indonesia. Sayangnya
saat tiba di Wheaton sudah kemalaman, sehingga restoran sudah
tutup.
Mendengar
kata restoran Indonesia, rasanya sudah tidak perlu lagi
ditanyakan masakannya enak apa tidak. Setidak enak tidak
enaknya masakan di restoran Indonesia, kalau sudah lebih setahun
tidak menjumpainya ya pasti akan terasa enak juga. Terbayang
sudah, berbagai menu kampung yang sudah luuuamaaa
..
tidak ketemu.
Meninggalkan
jantung kota Washington DC melalui jalan 16th Street
seperti waktu berangkatnya, melaju lurus ke utara hingga menyatu
ke jalan Georgia Avenue, memotong jalan lingkar utara Interstate
495 hingga tiba kembali di Wheaton. Sepanjang jalan 16th
Street banyak dijumpai rumah-rumah yang berupa bangunan-bangunan
kuno yang tampak masih sangat terpelihara dengan baik. Tentu ini
memberikan pemandangan yang khas berkesan kota kuno.
Hal
yang sama juga kami jumpai di jantung kota Washington DC dimana
banyak bangunan-bangunan kuno berkonstruksi menjulang tinggi yang
masih difungsikan dan terpelihara dengan baik. Daerah di sekitar
pusat kota ini terkesan tidak terlalu sibuk dan relatif enak
dijelajahi. Berbeda sekali dengan suasana di sekitarnya yang
padat dan ramai sama halnya dengan umumnya kota-kota besar di
Amerika.
Setiba
di Wheaton, kami langsung saja menuju ke pusat kota, lalu masuk
ke jalan 2504 Ennalls Avenue. Di situlah kami akan menyantap
makan siang menjelang sore di restoran Indonesia. Restoran
Sabang namanya. Kebetulan seorang teman Mas Supeno
bekerja di restoran ini, sehingga acara membuka-buka daftar menu
pun menjadi lebih bersuasana kekeluargaan.
Restoran
Sabang sedang tidak ramai, hanya ada satu dua tamu. Ya, karena
memang kami datang tidak pada jam makan. Tapi malah kebetulan,
kami jadi bisa agak lebih leluasa untuk mengesampingkan tata
krama makan di restoran. Terutama dalam hal cengengesan
bersama menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa. Hal yang
tidak etis untuk dilakukan kalau saja restoran sedang banyak
tamu.
Tanpa
pikir panjang, langsung saja memesan ikan bakar, lalapan lengkap
dengan sambal terasinya, sayur asam dan tentu nasi putih.
Anak-anak pun ikut nimbrung : saya mau sate. Tidak
perlu ditanya-tanya lagi, anak-anak dan ibunya langsung teriak :
es dawet
, es teler
. Seperti tahu kalau
sedang tidak sabar menunggu pesanan makanannya disajikan, musik klenengan
gendhing Jawa lalu mengalun. Kedengarannya kok jadi merdu dan
bersuasana nglaras (santai seperti tanpa beban pikiran),
padahal kalau sedang di Yogya dengar bunyi-bunyian musik gamelan
itu di radio biasanya langsung diganti gelombangnya
Pemilik
restoran ini bernama Pak Victor yang berdarah Menado. Lho, kok
musiknya gendhing Jawa? Tidak penting lagi dipersoalkan. Bagi Pak
Victor yang penting adalah tamu-tamunya senang dan berharap akan
kembali lagi makan di restorannya. Siang menjelang sore itu Pak
Victor tampil rapi, turut menyapa tamu-tamunya. Restoran
Sabang-nya beroperasi dari jam 11 siang hingga jam 9
atau 10 malam.
Pak
Victor yang sudah duapuluh tahunan melanglang Amerika ini paham
dengan peluang bisnis di daerah ini. Maka sekitar separuh dari
pengembaraannya di Amerika sudah dihabiskannya untuk menekuni
bisnis restoran. Dan tampaknya cukup berhasil. Kalau tidak tentu
restorannya sudah tutup sejak dulu.
Kabarnya
restoran ini menjadi langganan para pejabat Indonesia yang sedang
berkunjung ke Washington DC. Disamping lokasinya yang memang
tidak terlalu jauh dari kota Washington DC, tentu juga karena
menu dan masakan yang disajikannya pas dengan umumnya lidah orang
Indonesia. Dengan kata lain saya berkesimpulan, berarti
masakannya cukup enak.
Tidak
terlalu lama kami menunggu, pesanan pun segera disajikan. Ini
dia, masakan yang masih mengepul asapnya segera memenuhi meja.
Tanpa tolah-toleh kiri-kanan, jurus tradisional segera dimainkan.
Untuk menyelesaikan makanan yang sudah tersaji di meja, saya
merasa perlu untuk turun tangan, maksudnya
membebaskan tangan dari sendok, garpu, pisau dan sejenisnya
sehingga bebas berkeliaran dari piring ke piring.
Seperti
orang sedang kemaruk (bernafsu makan tinggi setelah sembuh
dari sakit). Lalu
.., ikan bakar pun bablas tinggal
tulangnya. Lalapan dan sambal terasi ludes, entah daun apa saja
yang tadi disajikan. Tinggal menyeruput kuah sayur asam.
Anak-anak pun suka dengan satenya. Perut jadi terasa kemlakaren
(penuh terisi seperti tidak tersisa lagi rongga yang kosong).
Saya
ingat-ingat, sekitar satu setengah tahun tinggal di Amerika, ya
baru kali inilah makan sampai keringatan. Alhamdulillah,
sebuah kenikmatan yang sudah lama tidak saya alami. Sejenak
keluar restoran, merokok di luar karena restoran ini bebas asap
rokok, lalu masuk lagi. Ya ini untungnya makan saat bukan jam
makan, sehingga tata krama makan di restoran bisa dikesampingkan
untuk sejenak berlaku ndeso. Nampaknya Pak Victor juga
maklum.
Keluar
dari Restoran Sabang seusai makan, kami pulang menuju
ke rumah Mas Supeno. Istirahat sejenak karena malamnya akan
dilanjutkan dengan rencana yang lain. Rupanya kami benar-benar
kecapekan, barangkali tadi makannya kebanyakan, yang jelas
istirahatnya menjadi berjenak-jenak dan ketiduran agak lama.
Menikmati ikan
bakar, lalapan dan sayur asam, nampaknya memberi kesan tersendiri
bagi kami sekeluarga yang sudah cukup lama tidak menjumpai menu
makanan semacam itu di Amerika. Bukannya tidak bisa memasak
sendiri, tetapi barangkali sama seperti kalau kita di kampung
sana, makan gudegnya simbok yang pagi-pagi jualan di ujung gang
seringkali terasa lebih enak daripada makan gudeg bikinan
sendiri.
Padahal tangannya
simbok itu ya njumput gudeg (mengambil gudeg dengan
menggunakan ujung-ujung jari), ya nyuwil ayam (mengambil
sebagian daging ayam dengan jari tangan), ya nyusuki
(memberi uang kembalian setelah menerima pembayaran), ya
terkadang garuk-garuk.- (Bersambung)
Yusuf Iskandar